Rabu, 28 Desember 2011

Mendaki Makna


Sebuah perenungan, meski sadar atas kefakiran kebijaksanaan yang kumiliki, dalam sebuah kemiskinan pengetahuan yang ku dapati, dan dalam sebuah kesempitan pemaknaan yang tertakdir untukku. Tetap ku paksakan pikiranku untuk mengira dan mereka-reka. Jika sebuah simbolisasi terhadap sesuatu berkemaknaan sebuah transfer nilai yang seharusnya didapatkan. Maka menjadi seorang dokter rasanya bukan sebuah algoritma sederhana. Dalam ilmu seni terdapat sebuah ilmu yang mempelajari sebuah detiail tentang warna termasuk di dalamnya sebuah arti besar atas warna apa yang menjadi simbol atas sebuah profesi.

Menengok apa yang selalu dikenakan seorang dokter ketika berhadapan dengan seorang yang membutuhkan pertolongan. Putih, memang tidak ada sebuah aturan tertulis bahwa seorang dokter diharuskan mengenakan jas atau baju berwarna putih. Yang di tuliskan disana adalah sebuah syarat bahwa pakaian yang dikenakan harus bersih dan rapi. Hal ini bertujuan demi kenyamanan bersama. Namun warna putih yang demikian melekat pada pemangku jabatan penolong kesehatan ini terasa demikian dekat. Setidaknya warna itu kemudian menjadi sebuah simbol bahwa warna putih dengan makna sucinya, dengan makna tegas, jujur, netral, mengandung sebuah transfer nilai yang tidak sekedar simbolisasi atas nilai-nilai tersebut. Namun juga sebuah upaya transfer akhlak, transfer keyakinan, transfer intelektualitas dan tranfer persejawatan. Tidak sederhana bukan.

Jika kita kemudian menengok ke samping di sekitar kita. Bisa kita temui. beberapa profesi lain yang juga menggunakan simbolisasi warna tersebut. Diantaranya chef atau koki. Atau seorang rohaniawan. Jika koki mengenakan pakaian putih dengan pemaknaan sebuah kebersihan, yah, namun apakah yang mereka rasakan ketika apa yang mereka siapkan dinikmati oleh pemesannya dengan rasa nikmat. Ternyata itu adalah sebuah pencpaaian yang demikian dahsyat. Bahkan mereka memasak dengan sebuah daftar bahan dan cara memasak dengan detail dan tuntunan yang apik dan rapi dan mereka menyebut lembar-lembar itu dengan resep. Dan ketika lembaran-lembaran itu dikumpulkan dan dibukukan mereka menyebutnya buku kumpulan resep. Maka kita belajar sebuah cita-cita dari seorang chef dengan pakaian putih yang mereka kenakan. Yaitu suatu prinsip kepuasan mereka dari kelelahan berdiri menyiapkan makanan dan menyajikannya adalah ketika penikmatnya kemudian memakan masakan mereka dan menunujkkan sebuah ekspresi bahagia luar biasa.

Chef dengna putih mereka adalah kebahagiaan ketika orang lain merasa kan kebahagiaan atas buah dari karya kita. Dari kemanfaatan kita.

Rohaniawan. Dari agama apapun kecenderungan emngenakan putih demikian kental. Meraka adlah tokoh dan manusia terpilih oleh alam yang telah mengabdikan diri sejak di awal kehidupan mereka untuk tunduk semaksimal mungkin. Atas perintah, atas kemauan dan atas ajaran yang diberikan agama dan keyakinan mereka. mereka adalah pengampu tanggung jawab atas keberlangsungan pemaknaan manusia akan diri mereka sehingga mereka mampu mengenali tuhan mereka. rohaniawan itu mencerahkan bagi yang berhadapan dengan kesuraman, menunjukkan jalan bagi kebingungan untuk memilih, mereka menenangkan bagi siapapun yang di hinggapi gundah. Dan mereka adalah wakil semesta untuk mengingatkan bagi siapapun yang lupa. Tidak pernah seorang rohaniawan kyai, ustadz, pastur, atau apapun sebutan bagi rohaniawan tersebut kemudian membedakan bahwa ketika seorang yang kebingungan tersebut adalah orang kaya maka bimbingan yang diberikan lebih istimewa dibanding kepada yang miskin. Tidak akan pernah kita temui bahwa seorang yang dari suku jawa kemudian diperingatkan dengan cahaya yang menyejukkan sementara yang lain sunda, batak, bugis, disinari dengan cahaya menyilaukan dan membakar. Dan tidak akan pernah kita temui para rohaniawan tersebut menempatkan kepentingan mereka diatas kepentingan umat mereka.

Sungguh putih yang mereka kenakan adalah sebuah syair kejujuran, sebuah bait-bait ketulusan, sebuah karya atas pengorbanan dan indahnya membagi cahaya kepada sesama.

Pendidikan kami selama bertahun-tahun untuk kemudian memiliki hak istimewa untuk menjadi bagian pemangku kewajiban mulia untuk menoong sesama manusia ini. Kami perlahan dikenalkan atas warna putih jas praktikum kami. Di sentuhkan dengan warna putih kemuliaan dan tanggung jawab atas pilihan kami. Sampai akhirnya di sebuah titik kami disahkan untuk memangku jabatan kedokteran.

Kemudian, menjadi seorang dokter adalah sebuah pendakian sahabatku. Menuju sebuah derajat menusia yang bertanggung jawab atas sebuah kehidupan. Yang menjalin sebuah kerja dalam makna yang se-istimewa para koki yang kemudian dapat belajar turut merasakan bahagia, ketika orang lain merasakan kenikmatan dan kesenangan. Tanpa lagi mengenal istilah dendam, iri, dengki ataupun hasut dalam kamus jiwa pengabdi tersebut.

Atau mendaki lebih jauh sahabatku. Ibarat seorang pertapa yang berusaha sekuat tenaga sehingga nantinya mendapat pusaka berupa hati dan jiwa besar. Sehingga berani untuk mengambil peran dan mengawali langkah ibarat seorang rohaniawan yang jujur, tulus, rela berkorban dan menjunjung tinggi sebuah hasrat tak ter peri untuk kebaikan orang lain dengan mendahulukan kepentingan yang membutuhkan di atas kepentingan pribadi. Ya, diatas kepentingan pribadi. Apalagi diatas kpentingan politik, kepentingan pemangku jabatan, kepentingan warna partai, korporasi farmasi ataupun asuransi yang tentu seluruhnya akan bermuara pada satu lokasi. Yaitu kepentingan pengumpulan harta diatas kepentingan pertolongan bagi sesama.

Selasa, 27 Desember 2011

memulai

Dalam setiap langkah dan keputusan. Tidak terkecuali apakah itu dalam memilih untuk menjadi seperti apa kita di masa depan. Bagian termudah adalah untuk menjalaninya dengan seperti air mengalir. Tapi apakah kemudahan itu bernilai absolut. Hehehe....(terkekeh,,,...)

Bahkan tidak menjadi apa-apa juga terdapat sebuah kemuliaan. Menganggap diri adalah makhluk utusan tuhan karena pengetahuan yang dimiliki rasanya adalah sebuah ke-picik-an egoisme pribadi. Sosok yang senantiasa menata rambutnya tetap rapi, memotong jenggotnya, merapikan jambangnya, berpakaian licin warna putih, dan nada bicara santun tak ter peri. namun ada sebuah makna yang terkadang lupa. Sungguh,,,,kita datang, duduk, menanyakan keluhan. Rasanya pekerjaan itu hanya sebuah beban tidak ada kesenangan yang terlahir.

Aku sedang tidak ingin menulis karena aku tidak ingin membagi atau mungkin aku tidak tahu apa yang sebenarnya ingin kubagi kepada sahabatku, atau setidaknya kepada diriku sendiri di masa depan. Hahaha. Menertawakan kemalasanku, mengingatkanku pada cerita cak nun tentang seorang tokoh di daerah yang akan mencalonkan diri menjadi anggota legislatif., apa yang terjadi komentar seorang tukang becak “ buang air besar saja membawa cemeti. Supaya ikan tidak mendekat untuk menikmati kotorannya” derajat pelit yang berat. Di jawa ini adlah idiom untuk gambaran keserakahan manusia tingkat tinggi. Nampaknya kemalasanku dapat di kriteriakan menjadi sebuah derajat pelit yang makomnya lebih amat jauh diatas makom pelitnya sang calon legislatif. Karena aku pelit tidak hanya kepada orang atau makhluk lain tapi aku juga pelit pada diriku sendiri. Tapi sadar atau tidak. Siapa yang peduli.

Semudah-mudahnya menjadi seorang dokter tetap tidak sesederhana yang dibayangkan. Sumpah hipokrates itu. ah, enggan membahasnya disini. Kata-kata sederhana dengan implikasi yang berat. Yang mengharuskan siapapun untuk tidak membedakan apakah yang kita tolong adalah seseorang yang terancam nyawanya setelah dia ditembak polisi karena telah melakukan pemerkosaan kemudian merampok dan membunuh korbannya. Atau bahkan tidak membedakan seorang yang dengan jabatan diembannya kemudian memanfaatkannya untuk mengeruk uang rakyat. Sah ataupun tidak. Padahal di saat yang sama. Ada puluhan bahkan ratusan balita di bawah garis merah (kriteria kurang gizi untuk balita) yang akhirnya hanya harus menjalani kehidupannya dan amsa depannya dengan prinsip nerimo ing pandum. Atau menjadi lebih buruk lagi, seorang yang ku kenal secara pribadi berprofesi ah gundah rasanya menyebut “kelakuan” itu sebagai profesi. Anggap saja ,tindakan rentenir tak beradap yang meminjamkan dalam jumlah tertentu. Namun kemudian, akhirnya si terhutang harus membayar lebih dari 300% dari nominal pinjaman. Lalu tokoh antagonis tersebut datang dengan keluhan sakit kepala karena tekanan darahnya menginjak angka 150 atau bahkan lebih. Sungguh tidak mudah,,iya tidak mudah.

Tapi ternyata mingkin kembali. Satu-satunya alasan yang meringankan langkah mengayun, dan memudahkan lengan menyentuh adlah bahwa apa yang mereka lakukan aalah urusan mereka dengan tuhan mereka. Urusanmu dengan tuhanmu adlaah ketika kewajiban yang kau miliki tidak kau tunaikan, kewajiban sebagai seorang dokter tidak terlaksanakan. Rasanya itu adalah urusanku dengan tuhanku.

Di negaraku, tidak ada yang sederhana. Bahkan tidak menjadi apa-apa adalah bukan langkah mudah untuk menjadi sederhana dan tidak repot. namun adalah sebuah keniscayaan ketika kita kemudian menjadi apa yang telah di takdirkan untuk dijalani. Maka penunaian kewajiban adalah syarat ,mutlah untuk kesana. Yang pasti, energi tidak dapat diciptkan, energi tidak dapat dimusnahkan, tetapi energi dapat berubah bentuk. Maka dengan kesadaran penuh dalam sebuah bilik kamar jaga dokter UGD RSUD di daerah barat jawa timur, aku berdoa semoga apa yang ku lakukan adalah sebuah perwujudan energi positif. Sehingga nanti dapat kugunakan sebagai wasilah,,,berdoa semoga diriku ditakdirkan menjadi apa-apa bagi lebih banyak orang. Dan penciptaku tersenyum memandang apa yang terjadi di luasnya ciptaanNya yang lain.

Kamis, 12 Februari 2009

Berkah Kardus Dari Surga

Pagi seakan masih enggan untuk segera mengijinkan siang datang. Mendung dengan kawalan udara sejuk semakin menyempurnakan indahnya panorama rembulan yang tengah menyunggingkan senyum. Bertaburkan aroma asmara dan parutan cinta, dia terbangun. Entah apa yang begitu saja menyibakkan kelopak matanya yang ranum bak melati ditaman. Senada dengan kelembutan dia lalu mendudukkan diri. Sejurus kemudian melangkahkan kakinya menuju sebuah pintu yang tepat di depan tempat tidurnya. Lalu dibuka pintu itu dan dia ayun kedua kakinya untuk melangkah. Setelah mereguk segelas air putih lalu dia menuju kamar mandi. "Tidak pernah ada firasat apapun, tidak ada sebuah petanda apapun dan tidak pernah ada khayalan seperti ini", katanya pada dirinya sendiri. Memang betapa kebahagiaan itu seakan pecahan surga yang Tuhan berikan padanya dari langit secara langsung dan secara khusus untuknya. Jiwa penghayal yang dulu seakan menjadi satu kehidupannya di dunia lain, kini patut untuk dia tinggalkan. Karena mimpi telah menyata, karena harapan telah bertunas, karena doa telah terkabul. Ketika pada saat yang sama setiap hari dia hanya bangun dengan bertemankan kamar yang penuh dengan debu, kemudian kasur, bantal, dan beberapa baju yang tergantung. Kini disamping tempat tidurnya telah ada sebuah keranjang dengan bayi mungil yang tengah tertidur penuh damai didalamnya. Impian dan kegundahannya yang senantiasa mengusik kicau kebahagiaannya seakan telah terbayar lunas. Terbayar tepat saat kemarin pagi ketika akan membuang sampah ke tempat sampah di depan rumah, dia melihat sebuah kardus yang entah dari mana asalnya.
"kresk….kresk…."suara dari dalam kardus itu entah tiba-tiba seakan menjadi suara para nabi yang memanggil umatnya. Entah muncul dari mana sebuah firasat untuk bergerak melangkah dan mencari tahu apa yang terdapat didalamnya. Dia coba untuk mematikan gejolak penasaran yang membara.
"paling suara tikus", katanya dalam hati enteng.
Namun entah mengapa kardus itu seakan menyihir setiap telinga yang mendengarnya, menyulap ketakutan menjadi sebuah keberanian sebesar gunung Merapi, menyibak rasa keingintahuan yang sedalam hati manusia. Akhirnya dia tunaikan kebutuhan batinnya. Dia datangi kardus itu dan dilihatnya sebuah kresek hitam yang bergerak-gerak. Semakin mendalam pikiran ini mengira-ngira. Dan ketika tangan ini telah memiliki seribu daya malaikat untuk membukanya, hatinya terkejut bukan kepalang. Disana dia melihat bayi yang masih berlumuran darah dengan wajah sedikit membiru. Sejurus kemudian keduan tangan Tuhan yang dia wakilkan padanya sanggup mengangkat tubuh mungil itu dan lidah ini lalu "toloong….."suaranya memecah pagi penuh kehangatan. Kontan seluruh warga pemukiman yang cukup padat penduduknya itu berhamburan menyerbunya. "aku menemukan bayi di kardus itu…"dia menjelaskan sebelum warga bertanya, sebelum warga mengira sebuah dosa telah diperbuatnya. Namun kepanikan akan bayi yang lunglai itu segera membuatnya mampu berlari menuju rumah bidan yang tepat ada disamping rumahnya. Dia sendiripun tidak menyadari kekuatan apa yang tiba-tiba merasuk didalam dirinya, sehingga seakan jiwa bayi itu adalah jiwanya, hidup bayi itu adalah hidupnya, ruh bayi itu adalah ruhnya. Sehingga begitu besar kepeduliannya. Setelah melalui proses panjang akhirnya sang bayi dinyatakan selamat. Polisi, setelah mendapatkan laporan dari warga sekitar tak pelak segera dating kelokasi untuk mengusut kejadian tersebut. Sampai saat itupun dia masih bingung, mengapa jiwa ini begitu peduli, mengapa muncul rasa sebuah ketamakan yang luar biasa menyeruak memasuki tiap centi hatinya. Seakan tanpa sadar dia memberanikan diri menggerakkan lidahnya yang sedari tadi kelu melihat kondisi sang bayi. Kelu karena merasakan duka yang amat ketika membayangkan betapa hati ibu bayi itu telah membatu sehingga tega melepaskan dari pangkuannya sebuah permata yang tiada satupun emas dan perak yang sepadan.
"Pak RT, ijinkan aku merawat bayi ini, tolong bantulah aku bagaimana prosesnya…",suaranya lirih. Layaknya anak balita yang melihat mainan kegemarannya sehingga tidak akan berhenti merengek sampai apa yang dia rasakan dapat dia dapatkan.
Laki-laki berkulit hitam itu berdiam diri. Sambil memandang wajah bayi yang perlahan mulai membaik. RT itu kmeudian berdiri dari tempat duduknya, sambil melangkahkan kakinya keluar tak lama kemudian terlihat bicara dengan beberapa warga kemudian mengajak polisi yang ada disampingnya bicara, mungkin untuk mengetahui bagaimana bagusnya.
Setelah bermusyawarah dengan warga, ketua RT itu bertanya"kamu yakin mampu merawat bayi itu…"
Dengan suara yang masih tetap lirih"kalian mungkin melihat seuatu yang sulit untuk aku lakukan, tapi aku akan berusaha dan aku akan berjuang siang malam"
Akhirnya warga dan polisi itu mengijinkansupaya bayi itu dirawat olehnya sambil proses administrasi selanjutnya diproses.
Kebahagiaan yang ia rasakan seakan pecahan surga yang Tuhan berikan padanya dari langit secara langsung dan secara khusus untuknya. Dengan ketidaksempurnaan yang ada padanya, kini hidupnya tanpa celah. Sebagai waria, meskipun telah operasi alat kelaminnya namun jiwa keibuan itulah yang menjadikannya begitu iba melihat penderitaan yang harus dirasakan oleh seorang bayi yang belum memiliki dosa, jiwa pantang menyerahlah yang membuatnya kuat untuk hidup. Meskipun dengan tekanan, cacian dan pengucilan social yang kerap kali dilakukan masyarakat kita kepada orang sepertinya. Dia tetap memperjuangkan dirinya untuk tetap bersabar, untuk tetap membiarkan hatinya seluas langit dan bumi, sehingga tidak perlu ada yang disesali dan dia benci.
Kekuatan itulah yang membuatku damai untuk memilihnya menjadi pasangan hidupku.

Surabaya, 5 Desember 2007
06.00-07.00
Kamar kost
RK PA FK UNAIR

jawapos 8 Desember 2007

KIRIMAN DUKA CLEOPATRA

Tidak bosan bosan aku merindukan sebuah rasa. Kehangatan akan canda, kemesraan akan tanya, dan keindahan akan cinta. Ketika sudah ribuan bait yang tercipta sebagai wujud dari anugrah tiada tara. aku masih saja terdiam duduk dalam sebuah gelap dengan baluran angin yang bertemankan butiran air mata dari surga.
Kesadaran akan lamunan kini merekah, aku duduk di atap rumah seperti malam sebelumnya, persis seperti hari sebelumnya, sama seperti saat-saat sebelumnya. Aku tatap luasnya langit, tempat bintang-bintang itu tinggal, dunia bagi burung untuk terjaga, media terbesar bagi impian untuk berkubang. Jalanan gang depan rumah dapat jelas terlihat dari tempatku duduk, tampak jasad kecil yang berlarian berkejaran dengan ibunya yang sudah kelelahan mengejar anaknya untuk bisa menyuapkan sesendok atau dua sendok nasi. Jauh disana terlihat pohon besar yang meniupkan kedamaian, tempat para malaikat meletakkan harapan. Gambaran duka itu bukan sekedar melintas dihadapanku, tetapi seakan melekat dipelupuk mata ini. Sehingga ketika mata terpejam atau terbuka, ketika lidah berkata atau terdiam, ketika kaki melangkah atau melumpuh. Duka, duka ini masih dengan tajam bersandar.
Sore ini, seperti biasa dimana setiap hari harus aku jalani tugas rutin disebuah rumah sakit. Aku telah memilih untuk mengabdikan hidupku sebagai seorang yang akan membantu sesama. Karena bagiku tiap nyawa memiliki harga. Seharga cinta, tawa, duka, canda, airmata dan nestapa. Namun hari ini entah mengapa ada yang berbeda. Mengapa, riwayat yang aku tobat terhadapnya kini sekan melintas dengan cepat namun menjadi magnet hati yang melemahkan diri ini untuk berhenti membayangkannya. Aku masih mengenakan jas putihku dan duduk bertemankan meja dan tumpukan berkas. Dengan stetoskop abu-abu didepanku. Tempat ini sekan tempat kegundahan hati manusia bertumpuk. Ruang gawat darurat yang memberikan pelayanan bagi kejadian kegawatan yang terjadi bagi masyarakat.
Biarkan aku merindumu, karena aku manusia
Biarkan aku membayangkanmu, karena itu bukan dosa
Biarkan aku melamunkanmu, karena itu obat lara
Biarkan, biarkan, biarkan
Entah kata-kata itu muncul dari benakku dan kutulis pada sebuah tisue yang ku ambil dari kotak berwarna putih diatas tumpukan kertas. Entah hari ini mengapa begitu kusam, seperti aku merasakan ketika adam akan diusir dari surga. Hingga tiba-tiba saja lamunanku tersentak oleh auman sirine dari ambulan yang tiba-tiba saja masuk gerbang rumah sakit. Gerbang dengan hiasan taman diantara pintu masuk dan pintuk keluar. Dengan segera seluruh perawat berbaju putih-putih itu segera berdiri mengambil sebuah kereta pasien dan menuju pintu keluar tepat melintasi samping kanan dimana aku terduduk. Belum sampai kereta pasien itu benar-benar keluar dari ruangan, datang seorang wanita separuh baya, berjilbab putih dengan map putih ditangannnya, jelas aku sudah tahu apa isinya. Pasti ini adalah perawat yang merujuk pasien ini dari puskesmas dengan membawa catatan medis kondisi pasien.
"Pasien wanita 30 tahun baru saja melahirkan anak kedua, terjadi perdarahan", cerocos ibu dengan suara tergagap. Pasti kekhawatiran akan keselamatan pasiennya lah yang membuat ibu ini begitu panik. Sambil lalu aku menuju ruangan dimana pasien itu akan diberikan penanganan pertama. Disini peranku, membantu pasien untuk minimal bisa membuat kondisinya stabil sebelum tindakan medis untuk mengatasi penyebab dapat dilakukan. Segera saja ku buka tirai bersih berwarna hijau, ruangan sebesar 3X4 m dengan berbagai kelengkapannya.
Kereta pasien sudah masuk diruangan dan partner kerjaku, perawat yang bijak dan sigap itu langsung memasukkan kereta itu kedalam ruangan. Segera tirai ku tutup. Segera ku mulai tugasku, kuperiksa kesadarannya. Namun, badai tsunami seakan menghantam hatiku mulai dari permukaan hingga menembus bagian terdalamnya.
"Indah..."lidahku lemah untuk berkata. Dua pondasi yang tuhan berikan padaku seakan tidak lagi memiliki kakuatan. Ya,...indah. adalah wanita yang hingga hari ini masih menjadi penyebab aku belum menjatuhkan pilihan untuk segera melengkapi hidupku dengan pernikahan. Indah, teman sekelas saat aku masih duduk dibangku kuliah. yang tuhan berikan rasa kepadaku. Rasa kekaguman, perhatian, dan yang menyejarah adalah cinta. Namun aku tetap menyadari aku belum siap untuk itu, aku bukan siapa-siapa. Hanya mahasiswa datang dari desa untuk menuntut ilmu. Sehingga perasaan ini ku simpan saja tanpa ada yang mengetahuinya. Kami tidak bisa memilih ketika jalan hidup yang membuat pertemuanku dengannya sedemikian sering. Pertemuan itu seakan selalu menambah satupersatu kekuatan akan kecintaanku pada satu keagungan ciptaan tuhan. Sampai akhirnya aku benar-benar merasakan duka, ketika aku menerima sebuah lembaran bertuliskan namanya yang bersanding dengan nama seorang laki-laki yang sudah cukup akrab denganku. Sebuah undangan pernikahan yang akan dilangsungkan bulan depan. Badai yang sama kini kurasakan ketika aku harus menghadapinya. Aku terdiam cukup lama. Sampai Mbak Nah, salah satu perawat di rumah sakit ini bertanya apa tindakan yang akan diberikan. Aku langsung melanjutkan perkerjaanku. Memberikan instruksi dan melakukan upaya apa yang bisa aku lakukan demi menyelamatkannya. Karena cinta ini masih hangat, karena asmara ini tetap melekat, karena karinduan ini begitu kuat. Wajah riang dulu, kini demikian dingin, pucat tanpa hiasan senyum terindah yang pernah ada dibumi.
Lalu suara laki-laki yang cukup ku kenal berkata, "dokter, tolong selamatkan istriku..."suara laki-laki yang masih kuingat namanya tertulis bersanding bersama nama Indah. Kesadarannya kian melemah, akhirnya kuberikan tindakan untuk memberi pijatan pada jantungnya, dengan menekan dada supaya jantungnya bisa kembali berfungsi sehingga dia bisa selamat. Namun, sudah lebih dari 10 menit ku berusaha. Aku tidak ingin kalah. Malaikat pencabut nyawa seakan sedang beradu kekuatan denganku. Sampai akhirnya mbak Nah menyadarkanku. Bahwa pasien ini telah tiada. Terlambat sudah untuk menyelamatkannya. Perdarahan yang kian tinggi tidak dapat untuk ditangani. Seketika itu juga lelaki itu melalui tubuhku dengan keras. Beriringkan teriakan histeris dia peluk tubuh indah. Dan airmata tiba-tiba saja meleleh demikian deras dari kedua mataku. Indah, sebuah kisah warisan cleopatra. Masih saja menjadi duka. Duka bagi setiap insan yang merasa. Bagi setiap jiwa yang bernyawa.

Surabaya, 11 Januari 2008
21.00-22.00 WIB
Kamar kost

tafakkur

Saya ingin menuliskan artikel ini dari sebuah cerita yang disampaikan oleh saudara. Kisah yang menceritakan tentang seseorang ustadz yang memeiliki peliharaan burung, ya burung itu adalah seekor burung beo.

Dengan lingkungan yang dimiliki ustadz tersebut sangat memungkinkan beo itu untuk dilatih berbicara kata-kata yang baik, bahkan kalimat dzikir, tasbih, tahlil dan tidak ada kontaminasi suara dari luar. Sampai burung itu benar-benar fasih dan lancar mengucapkan kalimat thoyibah yang diajarkan.

Sampai suatu hari, demi mendengar suara "keok…keok…" dari arah kandang burung beonya. Dia bergegas untuk melihat apa yang sedang terjadi.

Benar saja, ternyata sang ustadz lupa menutup kandang beo itu dengan tirai yang biasa digunakan. Segingga datang seekor kucing dengan leluasa dan menerkamnya. Dan ustadz itu datang tepat ketika beo itu tak lagi bersuara dengan gigi kucing melekat dikepala si beo.

Namun sertamerta ustadz itu lari kedalam kamar. Membuang dirinya dari segala aktifitas dakwah dan pengajaran di pesantren yang dia bina.

Santri dan keluarga ustadz itupun menjadi bingung karena tingkah aneh sang pemilik beo. Mengapa hanya karena kematian seekor burung dia meninggalkan kehidupan yang biasa dia jalani.sampai akhirnya santri itu mengirimkan utusan untuk menemui sang ustadz. Ditanyakan mengapa guruntya itu menjadi demikian.

"Ini karena burung beo itu…. "

"jika memang kesedihan ustadz karena burung beo, kami akan membelikan puluhan burung beo yang lain agar ustadz bisa segra kembali beraktifitas" utusan itu menjawab

"bukan, bukan itu masalahnya. Burung beo itu telah lama hidup bersamaku. Tiap pagi dia akan berbicara kalimat tasbih, tahlil, tahmid seperti yang selalu kuajarkan padanya. Tapi tahukah kau. Ketika ajal datang dan dia meregang nyawa. Kalimat thoyibah itu tidak muncul. Dia hanya meneriakkan keok…..keok….
aku menjadi takut dan ragu. Mungkin hari ini lisan ini demikian fasih membacakan alquran, demikian khusuk menguraikan dzikir, demikian menggebu menyampaikan dakwah. Tapi aku takut ketika ajalku nanti datang, lisanku tidak dikehendaki oleh Allah untuk mengucapkan kalimat thayyibah itu….:kalimat LAA ILAA HA ILLALLAH"

Sahabat, janganlah kitakemudian menjadi terlalu peraya diri dengan rutinitas kita untuk membaca alquran, membasahi lisan kita dengan dzikir atau bicara hanya kebenaran. Namun tetap tanamlah ketakutan dalam diri bahwa jangansampai ketika hampir mencapai garis finis, kita tidak memiliki daya untuk mengucapkan kalimat persaksian akan ke Esa-an Allah sang pemilik sejati.

Apalagi kita tidak pernah membasahi lisan dengan dzikir, tilawah atau perkataan yang syarat akan manfaat.

Rabu, 28 Januari 2009

Rabu, 07 Januari 2009

sedang mencoba
semoga bermanfaat